Kaum muslimin yang dirahmati Allah. Mengenal Allah adalah suatu hal yang sangat mendasar di dalam Islam. Inilah yang sering disebut oleh para ulama dengan istilah tauhid; yaitu mengesakan Allah. Tauhid bermakna mengesakan Allah dalam beribadah. Menujukan segala bentuk ibadah kepada Allah dan meninggalkan ibadah kepada selain-Nya. Oleh sebab itu setiap perintah beribadah kepada Allah pasti terkandung di dalamnya larangan beribadah kepada selain-Nya.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan sembahlah Allah, dan janganlah kalian mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ : 36). Allah juga berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya hendaklah dia melakukan amal saliih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110). Dengan demikian orang yang mengenal Allah adalah yang beribadah kepada-Nya, melakukan amal salih, memiliki keimanan, dan menjauhi syirik kepada Allah.
Mengapa kita hanya beribadah kepada Allah? Karena tidak ada yang menciptakan dan memberikan rezeki serta mengatur alam ini selain Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, mudah-mudahan kalian bertakwa.” (al-Baqarah : 21). Para ulama mengatakan bahwa yang menciptakan segala sesuatu itulah yang berhak untuk disembah. Oleh sebab itu tidak boleh beribadah kepada nabi, wali, malaikat, jin, kuburan, apalagi batu dan pohon.
Syaikh Muhammad at-Tamimi rahimahullah mengatakan : Bahwa Allah tidak ridha dipersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun dalam beribadah kepada-Nya; apakah itu malaikat yang dekat dengan Allah ataupun seorang nabi utusan. Dalilnya firman Allah (yang artinya), “Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kalian menyeru/beribadah bersama dengan ibadah kepada Allah kemudian kalian beribadah kepada selain-Nya; siapa pun itu.” (al-Jin : 18)
Dari sini kita bisa mengetahui bahwa seorang muslim meyakini bahwa seluruh alam semesta ini diciptakan oleh Allah dan Allah yang memeliharanya. Allah yang memberikan rezeki kepada kita dan segala nikmat yang kita terima, yang lahir dan yang batin. Maka sungguh tidak pandai bersyukur seorang hamba yang telah mendapatkan nikmat dari Allah dan diciptakan oleh Allah lantas mengangkat sekutu atau sesembahan tandingan bagi Allah. Ibadah merupakan hak Allah; hanya Allah yang berhak mendapatkan persembahan ibadah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas hamba adalah hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pada dasarnya setiap bayi yang dilahirkan berada dalam keadaan fitrah yaitu mengenal Allah. Walaupun ketika sudah dewasa untuk bisa beribadah kepada Allah secara rinci tentu dia butuh belajar lebih dalam dan mengikuti ajaran dan petunjuk rasul. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah ada seorang bayi yang dilahirkan melainkan berada di atas fitrah/tauhid. Maka kemudian kedua orang-tuanya lah yang menjadikannya berubah menjadi beragama Yahudi, Nasrani, atau Majusi.” (HR. Bukhari). Dengan demikian orang tua dan keluarga serta lingkungan memiliki peran yang besar dalam membentuk kepribadian dan agama seorang anak.
Orang Arab badui pun yang tidak pernah sekolah dan jauh dari perkotaan bisa mengetahui tentang keberadaan Allah dengan fitrah dan akal sehatnya. Mereka mengatakan, “Tahi onta itu menunjukkan adanya onta, dan adanya jejak-jejak perjalanan itu menunjukkan adanya rombongan yang lewat.” Maka bagaimana mungkin alam semesta, bumi, langit, gunung, lautan, matahari, bulan, dan bintang ada tanpa ada pencipta?! Orang kafir sekalipun kalau ditanya siapakah yang menciptakan langit dan bumi, atau siapa yang memberikan rezeki dari langit dan bumi, mereka akan menjawab ‘Allah’. Akan tetapi keyakinan semacam itu belum cukup untuk menjadi seorang muslim.
Seorang disebut muslim apabila dia mengucapkan dua kalimat syahadat. Syahadat laa ilaha illallah yang artinya tidak ada yang berhak disembah selain Allah. Dan syahadat Muhammadur rasulullah yang menegaskan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan Allah kepada segenap manusia. Syahadat ini bukan hanya diucapkan, tetapi ia harus diyakini di dalam hati dan dibuktikan dengan amal perbuatan anggota badan. Seorang ulama terdahulu bernama Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu hanya dengan berangan-angan atau memperindah penampilan. Akan tetapi iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amal-amal perbuatan.”
Dalam hadits dikisahkan, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seorang beriman telah didudukkan di dalam kuburnya dia pun didatangi oleh malaikat. Kemudian dia mengucapkan syahadat laa ilaha illallah wa anna Muhammadar rasulullah, itulah maksud dari firman Allah (yang artinya), “Allah akan teguhkan orang-orang beriman dengan ucapan yang kokoh..” (Ibrahim : 27).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Di dalam syahadat terkandung ajaran tauhid. Aqidah tauhid inilah pokok agama Islam dan syarat diterimanya amalan. Banyak sekali ayat al-Qur’an yang membahas dan menjelaskan tentang tauhid dari berbagai sisi. Ada ayat-ayat yang menjelaskan tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah maka ini mengandung kewajiban untuk mentauhidkan Allah dalam hal nama dan sifat-Nya. Ada ayat-ayat yang berisi seruan untuk beribadah kepada Allah dan mencampakkan segala sesembahan selain-Nya. Inilah yang biasa dikenal dengan istilah tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Ada ayat-ayat yang membahas perintah dan larangan yang itu merupakan hak-hak tauhid dan penyempurna atasnya. Ada pula ayat-ayat yang menjelaskan keutamaan orang yang bertauhid dan pahala yang Allah berikan untuk mereka. Ada pula ayat-ayat yang membahas seputar keburukan pelaku syirik dan hukuman yang Allah timpakan kepada mereka di dunia maupun di akhirat. Maka itu merupakan balasan bagi orang yang melenceng dari ajaran tauhid. Oleh sebab itu Ibnul Qayyim rahimahullah berkomentar bahwa “al-Qur’an itu seluruhnya membicarakan seputar tauhid.” (lihat al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad karya Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah, hlm. 16)